Selasa, 24 April 2012

MASALAH POKOK PEREKONOMIAN INDONESIA


Didalam suatu kepemerintahan ada beberapa masalah-masalah yang memicu terjadi lemahnya tingkat perekonomian di Indonesia. Diantara banyak masalah yang terjadi yang paling penting dan sampai saat ini belum dapat terselesaikan adalah masalah pengangguran dan inflasi yang melonjak tinggi.

Pengangguran
Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada.

Ada beberapa macam penyebab pengangguran, yaitu:
1. Pengangguran Friksional

Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu. Contoh : orang yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh pembuka lapangan kerja.

2. Pengangguran Musiman

Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiatan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus menganggur. Contohnya seperti petani yang menunggu musim tanam.

3. Pengangguran Siklikal

Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.


Ada berbagai cara mengatasi pengangguran, yaitu:

1. Peningkatan Mobilitas Tenaga kerja.

2. Pengelolaan Permintaan Masyarakat.

3. Penyediaan Informasi tentang Kebutuhan Tenaga Kerja.

4. Pertumbuhan Ekonomi.

5. Program Pendidikan dan Pelatihan Kerja.

6. Membuka lapangan kerja atau wirausaha.


INFLASI

Inflasi adalah naiknya harga barang/bahan pokok secara menyuluruh dan merata sehingga membuat nilai mata uang menjadi rendah/ barang yang di dapat lebih sedikit.


Beberapa faktor yang memicu terjadinya inflasi antara lain :

1.  Konsumsi masyarakat yang meningkat.
2. Berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulas
i.
3. Adanya ketidaklancaran distribusi barang.


Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal :

1. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga.


2. Inflasi desakan biaya (cost push inflation) terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan.


Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi 2 yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri.


Inflasi dapat digolongkan menjadi 4 macam :

1.  Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun)

2. Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)

3. Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun)

4. Hyper inflasi (lebih dari 100% / tahun)


Beberapa dampak positif inflasi :

1. Meningkatkan pendapatan nasional.

2. Membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi.


Beberapa dampak negatif inflasi :

1. Inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara.

2. mendorong tingkat bunga.

3. mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif.

4. kegagalan pelaksanaan pembangunan.

5. ketidakstabilan ekonomi.

6. defisit neraca pembayaran.

7. merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.


Cara mengatasi inflasi :

1. Kebijakan Moneter.
2. Kebijakan Fiskal.
3. Kebijakan Non Moneter.
4. Kebijakan Sektor Riil .








Senin, 23 April 2012

KEBIJAKSANAAN PEREKONOMIAN INDONESIA SELAMA PERIODE 1966 SAMPAI DENGAN PELITA VI

Kebijaksanaan Perekonomian Indonesia selama periode :

A. Periode 1966 – 1969
     Kebijaksanaan perekonomian Indonesia selama periode
1966 – 1969 ini adalah pembersihan proses-proses kebijakan  
 orde lama yang tidak efisien dan efektif terutama dari  
 faham-faham komunisme.
Titik berat pada periode 1966-1969:
1. Penurunan tingkat inflasi
2. Proses produksi yang tidak efektif dan efisien
             3. Penggunaan pendapatan yang lebih efektif dan efisien    
                 untuk menunjang proses pembangunan
Kebijakan perekonomian Indonesia selama periode 1966 –    1969
         Rencana pembangunan nasional semesta berencana (PNSB)                      1961-1969 ini disusun berlandasarkann “Manfesto Politik 1960” untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dengan azas ekonomi terpimpin.
Faktor yang menghambat atau kelemahannya antara lain:
   1.  Rencana ini tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi yang lazim. Defisit anggaran yang terus meningkat yang mengakibatkan hyper inflasi.
  2.  Kondisi ekonomi dan politik saat itu: dari dunia luar (Barat) Indonesia sudah terkucilkan karena sikapnya yang konfrontatif.
  3. Sementara di dalam negeri pemerintah selalu mendapat rongrongan dari golongan kekuatan politik “kontra-revolusi” (Muhammad Sadli, Kompas, 27 Juni 1966, Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982).
Beberapa kebijaksanaan ekonomi – keuangan:
  1. Dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961: Bank Indonesia dilarang menerbitkan laporan keuangan/ statistik keuangan, termasuk analisis dan perkembangan perekonomian Indonesia.
  2. Pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno memproklamirkan berlakunya Deklarasi Ekonomi dan pada tanggal 22 Mei 1963 pemerintah menetapkan berbagai peraturan negara di bidang perdagangan dan kepegawaian.
  3. Pokok perhatian diberikan pada aspek perbankan, namun nampaknya perhatian ini diberikan dalam rangka penguasaan wewenang mengelola moneter di tangan penguasa. Hal ini nampak dengan adanya dualisme dalam mengelola moneter. (Suroso, 1994).

B. Periode Pelita I   (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
        Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I
  Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.


Sasaran Pelita I
   Pangan, sandang,  perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I
   Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Menurut peraturan pemerintah no.16 tahun 1970 kebijakan pemerintah tentang perekonomian membicarakan tentang penyempurnaan tata niaga ekspor dan impor. Peraturan pemerintah pada bulan agustus 1971 membahas tentang devaluasi rupiah terhadap dollar amerika dengan memfokuskan pada beberapa sasaran, yakni kestabilan harga pokok, peningkatan nilai ekspor, kelancaran impor, penyebaran barang di dalam negeri.
Rencana pembangunan lima tahun yang pertama ini menitikberatkan pada sektor pertanian serta industri yang (langsung)  mendukung sektor pertanian (misalnya pabrik pupuk dan alat alat pertanian).

C. Periode Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
      Menitikberatkan pada sektor pertanian, dengan meningkatkan industri yang mengelola bahan mentah menjadi bahan baku (misal: karet, minyak, kayu, timah). Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja. Fokus pembangunan ini di fokuskan pada pengkreditan untuk mendorong eksportir kecil dan menengah serta mendorong pengusaha kecil atau ekonomi menengah dengan kredit investasi kecil (KIK).
Adapun kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dalam pelita II ini adalah dengan melakukan penghapusan pajak ekspor untuk mempertahankan daya saing di pasar dunia. Penggalakan PMA dan PMDN untuk mendorong investasi dalam negeri, yang menghasilakn cadangan devisa naik dari $ 1,8 milyar menjadi $ 2,58 milyar dan naiknya tabungan pemerintah dari Rp 255 milyar menjadi Rp 1.522 milyar pada periode pelita II tersebut. Sedangkan kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan hasil produksi nasional dan daya saing komoditi ekspor karena tingkat rata-rat inflasi 34%, resesi dan krisis dunia tahun 1979, serta penurunan bea masuk impor komoditi bahan dan peningkatan bea masuk komoditi impor lainnya.
Namun dengan adanya pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.

D. Periode Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
        Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pelita III ini menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan, serta menignkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.

Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai berikut:
   1.Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada   
      terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
    2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
    3.Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

E. Periode Pelita IV  (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
       Menitikberatkan pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada pangan, serta meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun  industri ringan. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.
Adapun contoh dari kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam pelita IV ini adalah sebagai berikut:
  1. Kebijakan Inpres No. 5 tahun 1985, yakni meningkatkan ekspor non migas dan pengurangan biaya tinggi dengan :
         a. Pemberantasan pungli
         b. Mempermudah prosedur kepabeanan
         c. Menghapus dan memberantas biaya siluman
  1. Paket Kebijakan 6 Mei (PAKEM): mendorong sektor swasta dibidang ekspor dan penanaman modal.
    1. Paket Devaluasi 1986 : karena jatuhnya harga minyak   
    dunia yang didukung dengan kebijakan pinjaman luar   
     negeri.
    1. Paket Kebijakan 25 Oktober 1986 : deregulasi bidang perdagangan, moneter, dan penanaman modal dengan cara :
·        Penurunan bea masuk impor untuk komoditi bahan penolong dan bahan baku
·        Proteksi produksi yang lebih efisien
·        Kebijakan penanaman modal
  1. Paket Kebijakan 15 Januari 1987, yakni peningkatan efisiensi, inovasi, dan produktivitas beberapa sektor industri (menengah ke atas) guna meningkatkan ekspor non migas, adapun langkah-langkahnya:
         1. Penyempurnaan dan penyederhanaan ketentuan impor
         2. Pembebasan dan keringanan bea masuk
         3.  Penyempurnaan klasifikasi barang
          4. Paket Kebijakan 24 Desember 1987 (PAKDES) adalah  
              restrukturisasi bidang ekonomi dalam rangka
               memperlancar perijinan (deregulasi).
       5. Paket 27 Oktober 1988 : kebijakan deregulasi untuk  
                menggairahkan pasar modal dan menghimpun dana   
                 masyarakat untuk biaya pembangunan.
        6. Paket Kebijakan 21 November 1988 (PAKNOV) yakni  
            deregulasi dan debirokratisasi bidang perdagangan
            dan hubungan laut.
         7. Paket Kebijakan 20 Desember 1988 (PAKDES),  
             yakni kebijakan dibidang keuangan dengan   
             memberikan keleluasaan bagi pasar modal dan
              perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih
               produktif, berisi mengenai deregulasi dalam hal
               pendiri perusahaan asuransi.
  1. Periode Pelita V
          Menitikberatkan sektor pertanian dan industri untuk menetapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya; dan sektor industri khususnya industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, serta industri yang dapat mengahsilkan mesin mesin industri.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan Kebijakan Moneter dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Pengarahan pada pengawasan, pengendalian dan upaya produktif untuk mempersiapkan proses tinggal landas menuju Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, yakni kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Adapun kebijakan moneter dan kebijakan fiskal di sektor dalam negeri:
Kebijakan Moneter
Sekumpulan tindakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui tingkat bunga.
a) Kebijakan Moneter Kuantitatif
     Mengatur  tingkat bunga melalui operasi pasar terbuka melaui SBI, merubah tingkat bunga diskonto, merubah presentase cadangan minimal yang harus dipenuhi oleh setiap bank umum
b) Kebijakan Moneter Kualitatif
     Mengatur dan menghimbau pihak bank umum /lembaga keuangan lainnya baik manajemen maupun produk yang ditawarkan untukmendukung kebijakan moneter kuanitatif bank Indonesia
Kebijakan Fiskal
Tindakan pemerintah dalam mengatur ekonomi melalui anggaran belanja negara.
Macam-macam kebijakan fiskal dalam ekonomi adalah:
Pajak langsung dan pajak tidak langsung
  1. Pajak regresif, sebanding dan progresif
  2. Penerimaan pemerintah, pengendali tingkat pengeluaran masyarakat
  3. Untuk lebih memeratakan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat.
Adapun kebijakan moneter dan kebijakan fiskal di sektor luar negeri:
1. Kebijakan Menekan Pengeluaran
          Dilakukan dengan cara mengurangi pengeluaran konsumsi.
          Cara :
           a. Menaikkan pajak pendapatan
           b. Menaikkan tingkat bunga
            c. Mengurangi pengeluaran pemerintah
    2. Kebijakan Memindahkan Pengeluaran
           Cara :
       1. Memaksa
               a. Mengenakan tarif dan atau kuota
                b. Mengawasi pemakaian valuta asing
        2. Rangsangan
                 a. Ekspor : mengurangi pajak komoditi ekspor,    
                     menyederhanakan prosedur ekspor, memberantas
                     pungli dan biaya siluman
                  b. Menstabilkan harga dan upah di dalam negeri
                  c. Melakukan devaluasi
  1. Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)
Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Akhir Masa Orde Baru
   Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi    
       yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Disamping itu Suharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun 1980. Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.
Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an diawali dengan pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai. Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru oleh Kwik Kian Gie diakui memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960.
Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.
Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Akhir Masa Orde Baru
Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas dan kapal pun rusak.
Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas di tengah jalan.
Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan KKN yang merajalela, Pembagunan yang dilakukan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata. Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh.. Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam.. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
Pembagunan tidak merata  tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah yang selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997.membuat perekonomian Indonesia gagal menunjukan taringnya.
Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.





Sumber: http://wartawarga.gunadarma.ac.id

PERAN SEKTOR LUAR NEGERI PADA PEREKONOMIAN INDONESIA

A.   Perdagangan Antar Negara
   Ada beberapa alasan mengapa suatu Negara memerlukan Negara lain     
   dalam kehidupan ekonomi:
          1. Karena, tidak semua kebutuhan masyarakatnya dapat dipenuhi oleh  
              komoditi yang dihasilkan di dalam negeri, sehingga untuk memenuhi
              kebutuhan tersebut, harus dilakukan impor dari Negara yang
              memproduksinya.
          2. Karena terbatasnya konsumen, tidak semua hasil produksi dapat
              dipasarkan di dalam negeri, sehingga perlu dicari pasar di luar negeri
          3. Sebagai sarana untuk melakukan proses alih teknologi. Dengan membeli
              produk asing suatu Negara dapat mempelajari bagaimana produk
              tersebut dibuat dan dipasarkan, sehingga dalam jangka panjang dapat
              melakukan produksi untuk barang yang sama.
          4. Secara ekonomis dan matematis perdagangan antar Negara dapat
              mendatangkan tambahan keuntungan dan efisiensi dari dilakukannya
              tindakan spesialisasi produksi dari Negara-negara yang memilki
              keuntungan mutlak dan  keuntungan berbanding.

     B.    Hambatan-hambatan perdagangan antar Negara
Meskipun setiap negara menyadari bahwa perdagangan negaranya dengan   
  Negara lain harus terlaksana dengan baik, lancar, dan saling menguntungkan.  
  Namun seringkali Negara-negara tersebut ,membuat suatu kebijaksanaan  
  dalam sektor perdagangan luar negeri yang justru menimbulkan hambatan
  dalam proses transaksi perdagangan luar negeri.
Namun demikian, dengan mulai dicetuskannya era perdagangan bebas,
   maka hambatan-hambatan yang selama ini cukup menggelisahkan akan
   dicoba untuk dikurangi dan jika mungkin dihapuskan. Adapun bentu-bentuk
   hambatan yang selama ini terjadi di antaranya :
       1.  Hamabatan Tarif
      Hambatan Tarif adalah suatu nilai tertentu yang dibebankan kepada     
      suatu komoditi luar negeri tertentu yang akan memasuki suatu Negara
      (komoditi import). Tarif sendiri ditentukan dengan jumlah yang
       berbeda untuk masing-masing komoditi impor. Secara garis besar
       bentuk penetapan tarif ada dua jenis, yakni :
                  a. Tarif Ad-volarem
            Tarif Ad-volarem adalah Tarif yang besar kecilnya ditetakan  
             berdasarkan presentase tertentu dari nilai komoditi yang diimpor.
             Misalnya jika tarif untuk komoditi impor komponen motor adalah
             50%, maka jika ada komponen motor masuk seharga $1000 maka
             tarifnya adalah sebesar $ 500. Akibatnya harga komponen motor
             tersebut sekarang menjadi $ 1500.
                  b. Tarif Spesifik
                Tarif Spesifik adalah Tarif yang besar kecilnya didasarkan pada  
                nilai yang tetap untuk setiap jumlah komoditi import tertentu.
                Sebagai contoh, setiap komoditi import seberat 1 ton akan
                dikenakan tarif senilai $ 500. Jika kita bandingkan dengan jenis
                tarif yang pertama maka terdapat perbedaan yang menyolok, yakni
                besarnya tarif akan sama meskipun nilai komoditi yang diimpor
                tidak sama, karena 1 ton komoditi impor tersebut bisa saja nilainya
                $ 5000, yang jika digunakan tarif ad-volarem akan dikenai tarif  
                sebesar $ 2500 (lebih besar dari tarif spesifiknya yang hanya
                $ 500). Ida dalam perekonomian Indonesia sendiri tarif masih    
                menjadi salah satu sumber pendapatan Negara dan sebagai alat    
                proteksi industri dalam negeri yang cukup ampuh, meskipun mulai
                dicoba untuk dikurangi serah dengan persiapan era perdagangan
                bebas yang segera akan berlaku di tahun 2000-an.

            2. Hambatan Quota
      Quota termasuk jenis hambatan perdagangan luar negeri yang    
      lazim dan sering diterapkan oleh suatu Negara untuk membatasi
      masukkan komoditi impor ke negaranya. Quota sendiri dapat
      diartikan sebagai tindakan pemerintah suatu Negara dengan
      menentukan batas maksimal suatu komoditi impor yang boleh masuk
      ke Negara tersebut. seperti halnya tarif, tindakan quota ini tentu
      tidak akan menyenangkan bagi Negara pengekspornya. Indonesia
      sendiri pernah menghadapi quota import yang diterapkan oleh    
      sistem perkonomian Amerika.
   
                3. Hambatan Dumping
     Meskipun karekteristiknya tidak seperti Tarif dan Quota, namun  
    dumping sering menjadi suatu masalah bagi suatu Negara dalam
     proses perdagangan luar negerinya, seperti yang dialami baru-baru
     ini, dimana industri sepeda motor di Indonesia dituduh melakukan
     politik dumping. Dumping sendiri diartikan sebagai suatu tindakan
     dalam menetapkan harga yang lebih murah di luar negeri    
     dibandingkan harga di dalam negeri untuk produk yang sama.

           4. Hambatan Embargo
               Sejarah mebuktikan bahwa suatu negara yang karena tindakannya    
               dianggap melanggar hak asasi manusia, melanggar wilayah kekuasaan
               suatu Negara, akan menerima/dikenakan sanksi ekonomi oleh
               Negara yang lain (PBB). Contoh yang masih hangat di telinga adalah
               kasus intervensi Irak, kasus libia dan masih banyak lagi yang  
               lainnya. Akibat dari hambatan yang terakhir ini biasanya lebih buruk
               dan meluas bagi masyarakat yang terkena sanksi ekonomi dari pada
               akibat yang ditimbulkan oleh hambatan-hambatan perdagangan
               lainnya.



       C.    Sebab-sebab Pemerintah menerapkan Hambatan Perdagangan
    Banyak alasan yang mendorong pemerintah menerapkan kebijaksanaan
   hambatan perdagangan diantaranya adalah :
   Tarif dan quota disamping untuk meningkatkan pendapatan Negara dari     
  sektor luar negeri, dipergunakan untuk lebih menyeimbangkan keadaan    
  neraca pembayaran yang masih defisit. Dengan dikenakannya tarif dan    
  quota pengeluaran untuk membeli komoditi impor menjadi berkurang
  sehingga dapat mengurangi proses pengeluaran dalam neraca
  pembayaran.
  Tarif dan quota diterapkan untuk melindungi industri dalam negeri yang
 masih dalam taraf berkembang, dari serangan komoditi-komoditi asing  
 yang telah lebih dahulu dewasa. Hal ini perlu dilakukan mengingat sering
 kali di Negara berkembang masih banyak industri yang masih belum dapat
 berproduksi secara efisien sehingga produk yang dihasilkan belum dapat
 bersaing dengan produk sejenis yang berasal dari luar negeri. Untuk
 itulah tarif atau quota diterapkan. Dapat juga kebijaksanaan ini
diterapkan jika suatu Negara tidak memiliki persedaiaan devisa yang
cukup untuk melakukan impor sehingga pemerintah harus menghemat
devisa tersebut.
Tarif dan quota juga diterapkan untuk mempertahankan tingkat
kemakmuran yang telah dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat suatu
Negara.
Adapaun damping jika terpaksa ditempuh digunakan memacu
perkembangan ekspor lewat kenaikan permintaan dikarenakan harga yang
murah tersebut.
Sedangkan sanksi ekonomi diterapkan lebih dikarenakan untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan HAM, politik,
terorisme dan keamanan intersnasional. Bagi Negara yang terkena sanksi
diharapkan dapat memperbaiki “sikap” dan “tindakannya” bagi kepentingan
Negara lain dan bagi dunia.

D.   Neraca Pembayaran Luar Negeri Indonesia
 Neraca pemabayarn luar negeri Indonesia juga merupakan suatu bentuk  
pelaporan yang sisitematis menganai segala transaksi ekonomi yang
diakibatkan oleh adanya kebijaksanaan dan kegiatan ekonomi di sektor
luar negeri. Dengan demikian dalam neraca ini juga terdapat pos yang
merupakan arus dana masuk (umumnya ditandai dengan +) dan pos yang
merupakan arus dana keluar (ditandai dengan -)
Namun demikian secara singkat pos-pos dalam neraca pembayaran luar
negeri Indonesia tersebut dapat dikelompokkan dalam berikut ini :
         1. Neraca Perdagangan, yang merupakan kelompok transaksi-transaksi  
             yang berkaitan dengan kegiatan ekspor dan impor barang, baik migas
             maupun non-migas.
         2. Neraca Jasa, merupakan kelompok transaski-transaksi yang berkaitan  
             dengan kegiatan ekspor impor di bidang jasa.
     3. Neraca berjalan, merupakan hasil penggabungan antara neraca
         perdagangan dan neraca jasa. Jika lebih banyak pos arus kas masuknya
         (ekspor) maka nilai neraca berjalan ini akan surplus, begitu pula
         sebaliknya.
         4. Neraca lalu-lintas modal, merupakan kelompok pos-pos yang berkaitan  
             dengan lalu-lintas modal pemerintah bersih (selisih antara pinjaman dan
             pelunasan hutang pokok) dan lalu-lintas modal swasta bersih, berikut
             lalu-lintas modal bersih lainnya yang merupakan selisih penerimaan
             penanaman modal asing dengan pembayaran BUMN.
         5. Selisih yang belum diperhitungkan
         6. Neraca lalu lintas moneter, yang merupakan kelompok pos-pos yang  
             berkaitan dengan perubahan cadangan devisa

E.    Peran Kurs Valuta Asing Dalam Perkonomian Luar Negeri Indonesia
Kurs valuta asing sering diartikan sebagai banyaknya nilai mata uang suatu  
negara (Rupiah misalnya) yang harus dikorbankan/dikeluarkan untuk
mendapatkan satu unit mata uang asing (Dollar misalnya). Sehingga dengan
kata lain, jika kita gunakan Rupiah dan Dollar, maka kurs valuta asing
adalah nilai tukar yang menggambrakan banyaknya Rupiah yang harus
dikeluarkan untuk mendapat satu unit Dollar dalam kurun waktu tertentu.
Masalah kurs valuta asing mulai muncul ketika transaksi ekonomi sudah
melibatkan dua negara (mata uang) atau lebih, tentunya sebagai alat untuk
menjembatani perbedaan mata uang di masing-masing negara.
Depresiasi adalah turunnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing
(Dollar). Misalnya tadinta $ 1 = Rp. 2.350,- menjadi $1 = Rp. 2.400,-.
Dengan kata lain depresiasi Rupiah menyebabkan semakin banyak rupiah
yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan 1 unit Dolar.
Apresiasi adalah kebalikan dari depresiasinya rupiah. Dengan demikian jika
Rupiah mengalami depresiasi (mengalami penurunan nilai) maka mata uang
Dollar akan Apresiasi.
Spot Rate, adalah nilai tukar yang masa berlakunya hanya dalam waktu 2 x
24 jam saja. Sehingga jika sudah melewati batas waktu di atas maka nilai
tukar tersebut sudah tidak berlaku lagi. Sebagai contoh, jika pada tanggal
13 Desember 1996 kurs $ 1 = Rp. 2.350,- maka setelah tanggal 15/12/96
misalnya, maka kurs tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Sulit untuk mendapatkan informasi kapan pertama kali dan dengan nilai
berapa dollar dihargai dengan mata uang rupiah. Lepas dari semua itu,
perubahan kurs suatu mata uang terhadap mata uang lainnya secara
prinsip hanya disebabkan karena adanya perubahan kekuatan permintaan
dan penawaran terhadap mata uang asing yang akan dipertukarkan, yang
sebenarnya identik dengan kekuataan permintaan dan penawaran akan
komoditi yang diperdagangkan.
Perubahan permintaan dan penawaran pada proses selanjutnya dapat
mengakibatkan mata uang di dalam negeri (rupiah) mengalami penurunan
nilai / Apresiasi, dan dapat juga mengalami kenaikan nilai / Depresiasi,
kedua hal tersebut tergantung dari sebab-sebab perubahan permintaan-
penawaran valuta asing tersebut. Adapun sebab-sebab perubahan
tersebut diantaranya :
          1. Perubahan selera masyarakat terhadap komoditi luar negeri
   Semakin banyak masyarakat Indonesia menyukai dan membutuhkan  
   barang luar negeri, maka kebutuhan  akan mata uang asing ($) akan
   semakin banyak pula untuk mendapatkan barang luar tersebut. karena
   permintaan semakin banyak, secara grafik, kurva permintaan akan dollar
   akan bergeser ke kanan dari keseimbangannya. Akabitnya nilai rupiah
   mengalami penurunan, atau semakin banyak rupiah yang harus
   dikorbankan untuk mendapatkan 1 unit $.
         2. Perubahan iklim investasi dan tingkat bunga
        Perubahan iklim investasi yang semakin aman dan menarik (PP No. 22
        1995 misalnya) dapat menyebabkan arus modal asing semakin banyak
        yang masuk, yang berarti penawaran modal asing berupa dollar
        meningkat. peristiwa ini akan mengakibatkan kurva penawaran dari dollar
        akan bergeser ke kanan (naik).
        3.  Perubahan tingkat inflasi
   Inflasi yang tinggi dapat menyebabkan komoditi eksport kita kurang  
   dapat bersaing di pasaran dunia, karena dengan adanya inflasi yang
   tinggi harga ekspor akan terasa lebih mahal. Akibatnya jarang yang mau
   membeli produk eksport. Hal ini identik dengan menurunnya penawaran
   dollar untuk membeli eksport tersebut.
         4. Iklim investasi
   Prospek dan iklim investasi yang menarik (aman dan tingkat penghasilan  
   yang tinggi) di Indonesia akan turut mempengaruhi banyak tidaknya
   penawaran dollar ke Indonesia. Semakin menarik maka nilai rupiah akan
   semakin tinggi (apresiasi).