Kasus jayenggaten SEMARANG
Akte jual beli tanah jayenggaten dari ahli waris
tasripin kepada pemilik hotel Gumaya, dinilai cacat hukum. Akta yang disahkan
pejabat pembuat akta tanah (PPAT), itu menyebutkan tanah seluas 5.440 m di
kampung jayenggaten beserta bangunan yang berdiri diatasnya di jual oleh aisyah
ahli waris tasripin, kepada hendra soegiarto pemilik hotel Gumaya. Menurut Guru
Besar fakultas hukum Unika soegijapranata, prof.dr. agnes widanti SH CN,
sejak puluhan tahun laluwarga hanya menyewa tanah, sedangkan bangunan
rumah yang ada di kampung tersebut didirikan oleh warga. Sejak 1995, ahli waris
tasripin tidak pernah mengambil uang sewa tanah.
Sebelumnya sistem pembayaran sewa tanah dilakuakan
secara ambilan, bukan setoran. Kerenanya keduanya dianggap tidak membayar “kata
agnes dalam pertemuan membahas kasus sengketa jayenggetan di balai kota.
Sementara itu kepala bagian hukum Pemkot, Nurjanah SH menuturkan terdapat 32
rumah dan 1 musolah di kampung jayenggaten. Saat ini, ada 55 keluarga atau 181
jiwa yang tinggal dikampung tersebut. Menurutnya pada 8 januari lalu warga
membentuk tim tujuan sebagian negosiator tali asin. Saat itu pemilik hotel
Gumaya bersedia memberi kompensasi sebesar Rp. 300.000/m namun warga meminta 2
jt /m. Pemilik hotel kemudian menawar 1 jt /m. Segala upaya telah dilakukan
agar kasus jayenggaten terselesaikan dengan baik. Namun masih saja warga berdemo.
Banyak hal yang sama seperti kasus di atas , karena
jaman kemerdekaan dahulu tanah hanya dibatasi oleh kayu singkong dan belum
mempunyai surat-surat atas bukti kepemilikan atas tanah tersebut. Dan yang
merepotkan ketika tanah itu di jual pada tahun-tahun sekarang ini, dan dapat
menimbulkan kasus-kasus yang merugikan warga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar